Selasa, 24 Mei 2016

Asuhan Keperawatan Emfisema

   Tidak ada komentar     
categories: 
DEFINISI
Emfisema adalah penyakit paru yang tak dapat pulih kembali yang terjadi sebagai sequele dari bronkiektasis dan bronkitis kronis.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru-paru yang ditandai dengan pembesaran alveolus dan duktus alveolaris dab destruksi dinding alveolaris.

ETIOLOGI
- Tidak diketahui
- Diduga terdapat perubahan keseimbangan inhibitor enzim yang terjadi yang menyebabkan enzim proteolitik merusak jaringan paru-paru.
- Ada kecenderungan pada perokok
- Ada kecenderungan keluarga untuk mengalami alpha 1-antitripsin dan penderita emfisema

PATOFISIOLOGI
- Perubahan destruktif dinding alveolus dan pembesaran ruang distal dan bronkiolus  non respirator terminal.
- Ditandai secara fisiologis adanya peningkatan compliance paru-paru, penurunan kapasitas difusi, dan peningkatan resistensi saluran nafas.
- Ada dua jenis : sentrilobular dan panlobular


TANDA DAN GEJALA
- Dispnea
- Respirasi cepat
- Menggunakan otot-otot aksesorius pernapasan untuk pernafasan, wajah merah
- Kurus dengan barrel chest
- Pengurangan pengembangan dada
- Penurunan taktil fremitus
- Resonan s/d hiperresonan pada perkusi
- Suara pernapasan intensitas rendah/ekspirasi memanjang, kadang-kadang sonor dan atau ronchi/rales yang halus pada akhir inspirasi.

KOMPLIKASI
- Pneumotorak spontan (kolap paru-paru) terjadi akibat penggabungan beberapa alveolus membentuk bula, dimana terjadinay ruptur dari alveoli/bula terbentuk blep
- Hipertropi ventrikel kanan
- Gagal jantung kanan
- Kegagalan pernapasan
Gambar 2. Blep dan bulla(e) pulmoner

EVALUASI DIAGNOSTIK
- PaO2 normal atau sedikit turun saat istirahat, turun selama latihan
- PaCO2 normal namun pada stadium lanjut PaCO2 meningkat

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan pertukaran gas
2. Intoleransi aktifitas
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Resiko tinggi infeksi
5. Ansietas
6. Gangguan konsep diri
7. Resiko tinggi ketidakpatuhan

PERENCANAAN
1. Pernapasan bibir/pernapasan abdomen
2. Fisioterapi paru
3. Terapi oksigen
4. Pengobatan : bronkodilator, antibiotika
5. Tempatkan posisi fowler atau fowler yang tinggi
6. Bantu pengendalian lingkungan
7. Hindari penghirupan iritan
8. Perbaiki toleransi aktifitas : sediakan cukup waktu untuk beraktifitas, sediakan O2, tingkatkan aktiftas secara bertahap
9. Bantu perbaiki pola tidur : latihan relaksasi, masase, musik, posisi, dll
10. Bantu mengurangi ansietas : bantu pasien menceritakan kecemasannya, jangan tinggalkan pasien sendirian selama sesak
11. Konseling dan pendidikan : kurangi merokok, dorong orang lain untuk tidak merokok, hindari penderita infeksi pernapasan, kurangi kontak dengan anak-anak



DAFTAR PUSTAKA

Engram, 1999. Rencana Asuhan Keperawaatn Medikal Bedah. EGC. Jakarta
Manurung S. 2009. Seri Asuhan Keperawatan.Gangguan Sistem Pernapasan Akibat Infeksi. TIM.Jakarta
Long B.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Yayasan IAPK. Padjajaran. Bandung
Price dan Wilson.2006. Patofisiologi. EGC.Jakarta

Minggu, 22 Mei 2016

Asuhan Keperawatan Benigna Hiperplasia Prostat (BPH)

   Tidak ada komentar     
categories: 
BAB I
KONSEP DASAR
A.DEFENISI
Benigna Hiperplasia Prostat (BPH) adalah pembesaran atau hipertropi kelenjer prostat, dimana kelenjer prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. (Brunner&Suddarth 2002).
BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjer prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn E.Doenges 1993)
BPH adalah  kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan merupakan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun.

B.ETIOLOGI
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat factor resiko umur dan hormone androgen. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya prostat yang menbesar, berwarna kemerahan dan tidak nyeri tekan. Penyebabnya tiak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa hormone menyebabkan hyperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat.

C.PATOFISIOLOGI
Proses penbesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

D.MANIFESTASI KLINIS
Manifesyasi klinis pada BPH  komplek gejala obstruktif dan iritatif mencakup:
Peningkatan frekuensi berkemih
Nokturia
Dorongan ingin berkemih
Anyang-anyangan
Abdomen tegang
Volume urin menurun dan harus mengejan saat berkemih
Aliran urin tidak lancar
Dribbling (urin terus menetes setelah berkemih)
Rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik
Retensi urin akut (bila lebi dari 60 ml urin tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih)
Pada akkhirnya dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin nampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

E.PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih. Dalam kasus seperti ini kabel kecil yang disebut stylet dimasukkan (oleh ahli urologi) ke dalam kateter untuk mencegah kateter kolaps ketika menemui tahanan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatic. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sistostomi suprapubik) untuk drainase yang adekuat. Tindakan lanjutan biasanya dilakukan operasi prostatectomy untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplastik.

F.KOMPLIKASI
Komplikasi BPH biasanya adalah:
Hidroureter
Hidronefrosis
Gagal ginjal
Batu buli-buli bisa menimbulkan hematuri
Pielonefritis
Pada waktu miksi pasien mengedan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia dan hemorrhoid.

G.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah), penampilan  keruh, pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi), bacteria, SDP, SDM mungkin ada secara mikroskopis.
2. Kultur urin : dapat menunjukkan stapilococcus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, atau Escherichia coli.
3. Sitologi urin : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih
4. BUN/kreatinin : meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi
5. Asam fosfat serum/antigen khusus prostatic : peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase tulang).
6. SDP : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi biloa pasien tidak imunosupresi.
7. Penentuan kecepatan aliran urin : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
8. IVP dengan film pasca berkemih : menunjukkan pelambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih.
9. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan kontras local.
10. Sitrogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tidak brehubungan dengan BPH
11. Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih (kontraindikasi pada adanya ISK akut sehubungan resiko sepsis gram negative)
12. Sistometri : mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
13. Ultrasound transrektal :mengukur ukuran prostat, jumlah residu urin, melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan BPH.


BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
SIRKULASI
Tanda: peninggian TD (efek pembesaran ginjal)
ELIMINASI
Gejala: penurunan kekuatan/dorongan aliran urin, tetesan
            Keragu-raguan pada berkemih awal
            Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan        
            Frekuensi berkemih
            Nokturia, disuria, hematuria
            Duduk untuk berkemih
            ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)
            Konstipasi (protrusi prostat ke dalam rectum)
Tanda: Massa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung kemih), nyeri tekan kandung
             kemih . Hernia inguinalis , hemorrhoid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal
            yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
MAKANAN/CAIRAN
Gejala: anoreksia, mual, muntah
             Penurunan berat badan
NYERI/KENYAMANAN
Gejala: nyeri supra pubik, panggul, atau punggung tajam, kuat (pada prostatitis akut)
             Nyeri punggung bawah.
KEAMANAN
Gejala: demem
SEKSUALITAS
Gejala: masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual
             Takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim
              Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
Tanda: pembasaran, nyeri tekan prostat
PENYULUHAN/PEMBELAJARAN
Gejala: riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal
            Penggunaan antihipertensif atau anti depresan, antibiotic urinaria atau agen antibiotic,
            Obat yang dijual bebas untuk flu/alergi obat mengandung simpatomimetik.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Retensi urin (akut/kronik) b/d obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2. Nyeri (akut) b/d iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria, terapi radiasi.
3. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d pasca obstruksi dieresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara krinis.
4. Ketakutan/ansietas b/d perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.

C.INTERVENSI

1. Retensi urin (akut/kronik b/d obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot  destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
INTERVENSI RASIONALISASI
1.Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
2.Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress
3.Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan
4.Awasi dan catat waktu dan jumlah berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
5.Perkusi/palpasi area supra pubik.
6.Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal.
7.Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
8.Berikan obat sesuai indikasi (kolaborasi) seperti antispasmodic,

1.Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
2.Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3.Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
4.Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi  fungsi ginjal.
5.Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6.Menurunkan resiko infeksi asenden.
7.Meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
8.Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungsn dengan iritasi oleh kateter.


2.Nyeri ( akut )  b/d iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria, terapi radiasi,

INTERVENSI RASIONALISASI
1.Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya
2.Plaster slang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan)
3.Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
4.Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam .
5.Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum
6.Masukkan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase (kolaborasi).
7.Lakukan masase prostat (kolaborasi).
8.Berikan obat sesuai indikasi seperti narkotik (kolaborasi)


1.Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi.
2.Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
3.Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik.
 4.Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
5.Meningkatkan relaksasi otot.
6.Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjer.
7.Membantu dalam evaluasi duktus kelenjer untuk menghilangkan kongesti/inflamasi. Kontraindikasi bila infeksi terjadi.
8.Diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.


3.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d pasca obstruksi diurisis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
INTERVENSI RASIONALISASI

1.Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200ml/jam
2.Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
3.Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapilar dan membrane mukosa oral.
4.Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
5.Awasi elektrolit, khususnya natrium (kolaborasi).
6.Berikan cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan (kolaborasi)

1.Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2.Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatic pengurangan cadangan dan peningkatan risiko dehidrasi/hipovolemia.
3.Memampukan deteksi dini/intervensi hipovolemik sistemik
4.Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi.
5.Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium dapat mengikuti pemindahan, menyebabkan hiponatremia.
6.Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia.

4.Ketakutan/ansietas b/d perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah/malignansi.
INTERVENSI RASIONALISASI

1.Selalu ada untuk pasien. Buat hubungan saling percaya dengan pasien/orang terdekat.
2.Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi, contoh kateter, urin berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan pasien.
3.Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur/menerima pasien. Lindungi privasi pasien.
4.Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
5.Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.

1.Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu dalam diskusi tentang subjek sensitif.
2.Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan, dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan, termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas.
3.Menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
4.Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi pemecahan masalah.
5.Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.

5.Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi infirmasi, tidak mengenal sumber informasi, masalah tentang area sensitive.

INTERVENSI RASIONALISASI
1.Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
2.Dorong menyatakan rasa takut/perasaan  perhatian.
3.Berkan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
4.Anjurkan menghindari makanan  berbumbu, kopi, alcohol, mengemudikan mobil lama, pemasukan cairan cepat (terutama alcohol)
5.Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual. Dorong pertanyaan dan tingkatkan dialog tentang masalah
6.Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh urin keruh, berbau, penurunan haluaran urin, ketidakmampuan untuk berkemih, adanya demam/menggigil.
7.Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tentang diagnose.
8.Beri penguatan pentingnya evaluasi medic untuk sedikitnya 6 bulan-1 tahun, termasuk pemeriksaan rektalurinalisa.

1.Memberikan dasar pengetahuan di mana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2.Membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vital.
3.Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan.
4.Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesti. Peningkatan tiba-tiba pada aliran urin dapat menyebabkan distensi kandung kemih dan kehilangan tonus kandung kemih, mengakibatkan episode retensi urinaria akut.
5.Memiliki informasi tentang amatomi membantu pasien memahami implikasi tindakan lanjut, sesuai dengan afek penampilan seksual.
6.Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
7.Menurunkan resiko terapi tak tepat, contoh penggunaan dekongestan, antikolinergik, dan anti depresan meningkatkan retensi urin dan dapat mencetuskan episode akut.
8.Hipertropi berulang dan/atau infeksi (disebabkan oleh organism yang sama atau berbeda) tidak umum dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah komplikasi serius.

Sabtu, 21 Mei 2016

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Akne Vulgaris

   Tidak ada komentar     
categories: 
BAB I
KONSEP DASAR

A. Landasan Teoritis
1. Defenisi
Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel filosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula, dan kista pada daeah-faerah predileksi, seperti muka, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung.
(Ilmu Penyakit Kulit, Marklali Harahap, 2000, hal 35)
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada mada remaja dan dapat sembuh sendiri.
(Ilmu Penyakit Kulit Dan kelamin, 2005, hal 236)

Akne vulgaris menjadi masalah pada hampir semua remaja. Akne minor adalah suatu bentuk akne yang ringan, dan dialami oleh 85% para remaja. Gangguan masih dianggap sebagai proses fisiologik. Lima belas persen remaja menderita ini. Biasanya akne vulgaris mulai timbul pada masa pubertas. Pada wanita insidens terbanyak terdapat pada usia 14 – 17 tahun, sedangkan pada laki-laki 16 – 19 tahun.

2. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi banyak faktor yang berpengaruh:
a. Sebum : akne yang keras selalu disertai pengeluaran sebore yang banyak
b. Bakterial : bakteri corynebacterium acnes, staphylococus epidermidis, pity rosporum ovale
c. Herediter : apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan anaknya akan menderita akne
d. Hormon : estrogen, progesteron
e. Iklim : daerah yang mempunyai 4 musim, biasanya akne bertambah hebat pada musim dingin, sebaliknya kebanyakan membaik pada musim panas
f. Psikis : penderita stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaset basi akne
g. Kosmetika : jenis kosmetika yang dapat menimbulkan akne tak tergantung pada harga, merk, dan kemurnian bahannya, tetapi karena mengandung campuran bahan yang bersifat komedo genik atau bahan dengan konsentrasi lebih besar



3. Patofisiologi


Asuhan Keperawatan Pada Pasien Akne Vulgaris


4. Gejala Klinis
Tempat predileksi akne vulgaris adalah dimuka, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas, lokasi kulit ini, misalnya leher, lengan atas, dan kadang-kadang terkena erupsi kulit polimorfi, dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang tidak beradang. Dapat disertai rasa gatal, namun umumnya keluhan penderita adalah keluhan estetis. Komedo adalah gejala patognomonik bagian akne berupa papul miliar yang di tengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam akibat mengandung unsur melan disebut komedo hitam atau komedo terbuka (black comedo, open comedo). Sedang bila berwarna putih arena lebih dalam sehingga tidak mengandung unsur melanin disebut sebagai komedo putih atau komedo tertutup.

5. Klasifikasi
Klasifikasi secara klinik dapat berdasarkan:
1) Tingkat keseluruhan (overall arading)
2) Penghitungan lesi
3) Fotografi

6. Penatalaksanaan
a. Medikamentosol
Topikal
Bahan iritan: resorsinol (1 – 5%), asam salisilat ( 3 – 5%), asam Vit A (0,025 – 0,1%)
Sulfat (4 – 8%)
Antibakteri: tetrasiklin 1%, eritromisin 1%, klindomisin 1%, Peroksida benzoil 2,5%
Kortikisteroid kekutan ringan sampai sedang, dan etil laktat 10%, dalam gliserin 5 – 10%
Sistemik
Antibakteri: tetrasiklin 3 – 4 x 250 mg, minosiklin 2 x 50 mg, linkomisin 3 x 500 mg, klindomisin 2 x 50 mg
Hormonal: estrogen 50 mg 1 hari selama 21 hari, antiandrogen 2 mg / hari

b. Nonmedikamentosa
Pengeluaran sebum oleh ekstraktor komedo atau bedah listrik, bedah beku, dan suntikan intralesi, perakiatan kulit, dan diet bagi yang memerlukan.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Lakukan pengkajian fisik, dapatkan riwayat keluarga dan riwayat kesehatan
Observasi adanya manifestasi jerawat

Non inflamasi
Komedo – massa padat dari keratin, lipid, asam lemak dan bakteri yang mendilatasi produksi duktus folikular
Komedo tertutup atau “whiteheads” (komedo putih)
Komedo terbuka atau “black heads” (komedo hitam)

Inflamasi
Papula
Pustula
Kista

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa I
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya sekresi, organisme infektif.

Tujuan:
Lesi sembuh dengan pembentukan jaringan parut minimal.

Kriteria hasil:
Pasien mengatakan lesi sembuh dengan pembentukan jaringan parut baru.
Intervensi:
Bersihkan kulit dengan cermat menggunakan sabun ringan dan air
Beritahukan pasien untuk tidak memencet-mencet, menusuk-nusuk atau melakukan bentuk manipulasi lain pada lesi
Tekankan pentingnya mengikuti instruksi, seperti hanya menggunakan preparat yang diresepkan
Instruksikan tentang pencucian rambut, penataan rambut, serta pemilihan dan penggunaan kosmetik
Berikan agens untuk kulit sesuai ketentuan
Berikan antibiotik sesuai ketentuan

Rasionalisasi:
Untuk mengurangi risiko infeksi
Pasien diberitahukan untuk tidak memencet-mencet, menusuk-nusuk atau melakukan bentuk manipulasi lain pada lesi agar tidak memunculkan jerawat dan tidak meningkatkan resiko infeksi
Dukungan psikologis
Dapat mengurangi jumlah lesi
Dukungan psikologis

Dagnosa II
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan persepsi terhadap lesi wajah.

Tujuan:
Agar remaja memahami tentang jerawat dan pengobatannya.

Kriteria hasil:
Lebih memahami tentang jerawat dan pengobatannya.

Intervensi:
Waspadai syarat-syarat yang menandakan bahwa remaja ingin mendiskusikan masalah kulit
Lakukan diskusi degan topik terapi untuk remaja dengan lesi kulit yang nyata
Rujuk keperawatan praktis terhadap kebutuhan khusus remaja
Hindari pengobatan sendiri dengan preparat yang dijual bebas karena hal ini biasanya tidak efektif

Rasionalisasi:
Dukungan psikologis

Diagnosa III
Perubahan proses kelurga b/d anak dengan masalah kulit yang mengganggu.

Tujuan:
Px dapat kembali berkumpul dengan orang tua tanpa ada rasa minder

Kriteria hasil:
Keluarga menunjukkan pemahaman tentang masalah kulit remaja dan terapi
Keluarga menunjukkan sikap mendukung

Intervensi:
Jelaskan jerawat dan terapi yang ditentukan
Bantu keluarga dalam membantu remaja dalam melakukan tanggung jawab yang lebih besar
Jelaskan sikap perkembangan remaja dan efek jerawat terhadap citra diri dan pembentukan identifikasi

Rasionalisasi:
Dengan ditentukannya terapi gunanya untuk meningkatkan pemahaman keluarga
Dengan melakukan tanggung jawab yang besar untuk penatalaksanaan jerawat
Agar keluarga lebih paham dan mendukung


DAFTAR PUSTAKA

1. Kulit – Penyakit I, Harahap Marwali, Jakarta, 2000.
2. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Prof DR. Adhi Djuanda, Jakarta, 1987.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke 3, Jilid 2,
Djuanda A. Djuanda S. Hamzah M, Aisah S.
Arnold HL. Odom, RB, James KID Andrews, Diases Of The Skin Clinical Dermatology Bith Ed, Philadelphia KIB saunders Company, 1990.
4. Keperawatan Pediatrik, Edisi 4
Donna L. Wong

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Addison

   Tidak ada komentar     
categories: 
BAB 1 PENDAHULUAN

1. Pengertian
Suatu kondisi insufisiensi korteks adrenal yang disebabkan oleh suatu proses patologis korteks adrenal.

2. Anatomi Fisiologi Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal terletak di ujung bagian superior setiap ginjal.
Kelenjar adrenal terdiri dari dua kelenjar:
a. Korteks adrenal (bagian luar)
b. Medula adrenal (bagian dalam)

Hormon-hormon yang dihasilkan korteks adrenal dan fungsinya:
1) Gluko kortikoid (kortisal)
a. Mempertahankan kadar glukosa darah yang meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi kecepatan pemakaian glukosa oleh sel yang merupakan fungsi utama.
b. Anti inflamasi
c. Meningkatkan retensi natrium dan air
d. Mempertahankan stabilitas emosi.
Hipoglikemia, hipoksia, nyeri, trauma dan cemas bisa mengakibatkan peningkatan kortisal.
2) Mineralokortikoid (aldosteron)
a. Mempertahankan status natrium dan volume cairan
b. Meningkatkan reabsorbsi natrium lewat tubula ginjal
c. Meningkatkan sekresi kalium dan hydrogen melalui tubula ginjal
3) Adrenal androgen
a. Mengatur karakteristik seks sekunder wanita dan pria
Medula adrenal menyekresi katekolamin (epineprin dan norepineprin)  katekolamin mempunyai efek yang tidak sama pada tubuh karena reseptor yang berbeda pada organ tubuh. Reseptor alfa I bersifat merangsang organ target sedangkan alfa 2 mencegah keluarnya katekolamin. Norepineprin menstimulasi reseptor alfa. Epineprin menstimulasi reseptor alfa dan beta.
Reseptor beta I terletak di jantung, reseptor beta 2 di bagian tubuh yang lain.
Untuk mempertahankan meostatis katekolamin dikeluarkan, tetapi dalam jumlah sedikit. Dalam keadaan stress berat baik secara fisiologis maupun psikologis jumlah katekolamin meningkat.

3. Patofisiologi
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Addison

4. Etiologi
Penyakit primer atau insufisiensi korteks adrenal
Kekurangan sekresi ACTH oleh hipofise
Atropi autoimun atau idiopatik pada kelenjar adrenal
Infeksi pada kedua kelenjar adrenal (TB)

5. Manifestasi Klinis
Penyakit Addison ditandai oleh kelemahan otot-otot,  anoreksia, gejala GI, keluhan mudah lelah, emosi, pigmentasi pada kulit, buku-buku jari, lutut siku serta membrane mukosa, hipotensi, kadar glukosa darah dan natrium serum rendah, kadar kalium tinggi.
Pada kasus yang berat gangguan metabolisme natrium dan kalium ditandai pengurangan natrium dan air, serta dehidrasi kronis dan berat dapat berlanjut dengan hipotensi acut sebagai akibat hipokortikoisme.
Pasien mengalami krisis addisonian yang ditandai: sianosis, panas dan tanda-tanda klasik syok, pucat, cemas, nadi cepat dan lemah, pernafasan cepat dan tekanan darah rendah.

6. Kosekuensi Metabolik Dari Defisiensi Kortisol, Aldosteron Dan Androgen
Insufisiensi kortisol menyebabkan hilangnya glukoneogenesis, berkurangnya glikogen hati dan peningkatan kepekaan jaringan perifer terhadap insulin mengakibatkan ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hipoglikemia.
Akibat lain dari insufisiensi kortisol adalah meningkatnya sekresi propio melanokortin sehingga terjadilah hiperpigmentasi, disamping itu pasien juga tidak dapat menghadapi stress pembedahan, trauma, infeksi dan sebagainya.
Defisiensi aldosteron dimanifestasikan dengan peningkatan kehilangan natrium dan peningkatan reabsorbsi kalium oleh ginjal. Kekurangan natrium dapat dikaitkan dengan kekurangan air dan volume plasma yang bersirkulasi akan mengakibatkan hipotensi postural.
Aktifitas rennin plasma juga dipengaruhi oleh penyakit Addison. Penurunan volume plasma dan tekanan arteriol menimbulkan perangsangan untuk melepaskan rennin dn peningkatan pembentukan angiotensi II. Tetapi pada penyakit Addison terjadi kerusakan korteks adrenal sehingga angiotensin II tidak dapat merangsang pembentukan akdosteron dan mengembalikan kadar aldosteron pada batas-batas fisiologisnya. Sekresi aldosteron yang rendah dan kadar renin yang tinggi merupakan gambaran yang khas dari defisiensi aldosteron.
Defisiensi androgen dapat mempengaruhi pertumbuhan rambut pubis dan axila. Pada pria keadaan ini tidak nyata karena androgen testis memegang peranan utama dalam efek metabolic androgenic. Pada wanita hal ini menyebabkan rambut axila, pubis rontok dan rambut ekstermitas berkurang.

7. Evaluasi Diagnostik
Hasil-hasil laboratorium mencakup:
Hipoglikemia dan hiponatremia
Hiperkalemia
Leukositosis
Hormon adrenokortikal yang rendah dalam darah dan urine.
Jika korteks adrenal sudah mengalami kerusakan nilai dasar laboratorium tampak rendah dan penyuntikan ACTH tidak mampu menaikkan kadar kortisol plasma dan kadar 17 – hidroksi kortikosteroid urine hingga mencapai nilai normal.


8. Penatalaksanaan
Terapi darurat ditujukan untuk mengatasi syok, memulihkan sirkulasi darah, memberikan cairan, terapi penggantian kortikosteroid, memantau TTV, menempatkan pasien dalam posisi setengah duduk dengan kedua tungkai ditinggikan.
Hidrokortison disuntikkan IV, diikuti pemberian infuse 0,5% dalam larutan NaCl. Jika hipertensi bertahan preparat vasopresor anima diperlukan. AB dapat diberikan jika infeksi memicu krisis adrenal. Asupan per oral dimulai segera setelah pasien dapat menerimanya. Sebagian pasien memerlukan terapi kortikosteroid dan mineralokortikoid seumur hidup untuk mencegah insufisiensi adrenal serta krisis addisonian.


BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

Riwayat kesehatan dan pemeriksaan pasien harus berfokus pada gejala ketidak seimbangan cairan serta stress yang dialami pasien. TD dan nadi diukur dalam posisi berbaring serta duduk untuk mengetahui apakah volume cairan adekuat. Warna kulit atau turgor dikaji untuk mendeteksi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan insufisiensi kronis adrenal dan hypopolemik. Perlu dicatat adanya perubahan berat badan, adanya kelemahan otot dan tingkat kelelahan.

Dasar data pengkajian pasien
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala:
Terjadi lelah, nyeri/kelemahan pada otot, tidak mampu beraktifitas dan bekerja.

Tanda:
Peningkatan nadi pada aktifitas minimal, penurunan rentang gerak sendi, depresi, gangguan konsentrasi, penurunan inisiatif.

2. Sirkulasi
Terjadi hipotensi postural, takikardia, disritmia, suara jantung melemah, nadi perifer melemah, pengisian kapiler memanjang, esktremitas dingin, sianosis dan pucat, membrane mukosa hitam keabu-abuan.





3. Integritas ego
Gejala:
Kaji riwayat faktor stress yang baru dialami, termasuk sakit fisik / pembedahan, perubahan gaya hidup, ketidakmampuan mengatasi stress.
Tanda:
Ansietas, peka rangsangan, depresi, emosi tidak stabil.

4. Eliminasi
Gejala:
Diare sampai dengan adanya konstipasi, kram abdomen.

Tanda:
Diuresis yang diikuti dengan oliguria.

5. Makanan / cairan
Gejala:
Anoreksia berat (gejala utama), mual/muntah, kekurangan zat garam.

Tanda:
Turgor kulit jelek, membrane mukosa kering.

6. Neurosensori
Gejala:
Pusing, sinkope (pingsan sejenak) gemetar, sakit kepala yang berlangsung lama yang diikuti oleh diaforesis, kelemahan otot, penurunan toleransi terhadap keadaan dingin atau stress, kesemutan

Tanda:
Disorientasi terhadap waktu, tempat dan ruang (karena kadar natrium rendah), letargi, parastesia, paralisis, astania (pada keadaan krisis)




7. Nyeri / kenyamanan
Gejala:
Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala, nyeri tulang belakang, abdomen, esktremitas (pada keadaan krisis)

8. Pernafasan
Gejala:
Dispnea

Tanda:
Kecepatan pernafasan meningkat, takipnea, suara nafas: ronkhi / pada keadaan infeksi.

9. Keamanan
Gejala:
Tidak toleran terhadap panas, cuaca (udara) panas.

Tanda:
Hiperpigmentasi kulit (coklat, kehitaman karena kena sinar matahari atau hitam seperti perunggu) yang menyeluruh atau berbintik-bintik
Peningkatan suhu: demam yang diikuti dengan hipotermia, otot menjadi kurus.




10. Seksualitas
Gejala:
Adanya riwayat menopause dini, amenorea, hilangnya tanda-tanda seks sekunder (misalnya: berkurangnya rambut-rambut pada tubuh terutama pada wanita, hilangnya libido).


11. Penyuluhan
Adanya riwayat keluarga DM, TB, kanker, tiroiditis, anemia pernisiosa.

Diagnosa yang muncul
1. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan melalui ginjal
Intervensi:
a. Dapatkan riwayat dari pasien atau orang terdekat yang berhubungan dengan lama dan intensitas dari gejala yang muncul seperti: muntah, pengeluaran urine yang berlebihan.
R/ : Membantu memperkirakan penurunan volume total cairan.
b. Pantau tanda vital, catat perubahan TD pada perubahan posisi, kekuatan dari nadi perifer
R/ : Hipotensi postural merupakan bagian hipovolemia akibat kekurangan hormon aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai akibat dari penurunan kortisol, nadi mungkin melemah


c. Ukur dan timbang BB setiap hari
R/ : Memberikan perkiraan kebutuhan akan penggantian volume cairan dan keefektifan pengobatan, peningkatan berat badan yang cepat disebabkan oleh adanya retensi cairan dan natrium yang berhubungan dengan pengobatan steroid.
d. Kaji pasien mengenai adanya rasa haus, kelelahan, nadi cepat, turgor kulit jelek, membrane mukosa kering, catat warna kulit dan temperaturnya.
R/ : Untuk mengindikasikan berlanjutnya hipovolemia dan mempengaruhi kebutuhan volume pengganti.
e. Periksa adanya perubahan dalam status mental dan sensori
R/ : Dehidrasi berat menurunkan curah jantung dan perfusi jaringan terutama jaringan otak
f. Auskultasi bising usus, catat dan laporkan adanya mual muntah dan diare
R/ : Kerusakan fungsi saluran cerna dapat meningkatkan kehilangan cairan dan elektrolit dan mempengaruhi cara untuk pemberian cairan dan nutrisi
g. Pertahankan kenyamanan lingkungan, lindungi pasien dari cahaya dengan selimut
R/ : Menghindari panas berlebihan akan dapat meningkatkan kehilangan cairan
h. Kolaborasi:
- Pemberian cairan antara lain cairan NaCl 0,9%
R/ : Pasien mungkin membutuhkan cairan pengganti 4-6 liter dengan perubahan cairan NaCl 0,9% melalui IV sebanyak 500 – 1000 ml/jam dapat mengatasi kekurangan natrium yang telah terjadi

- Berikan obat sesuai indikasi: kortison
R/ : Obat untuk mengganti kekurangan kortison dalam tubuh dan meningkatkan reabsorbsi natrium sehingga dapat menurunkan kehilangan cairan dan mempertahankan curah jantung
- Pasang cateter / pertahanan kateter urine sesuai indikasi
R/ : Untuk memfasilitasi pengukuran haluaran dengan akurat baik urine maupun lambung.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual muntah, anoreksia
a. Auskultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual atau muntah
R/ : Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala gastrointestinal berat yang mempengaruhi pencernaan dan absorbsi dari makanan
b. Catat adanya kulit yang dingin atau basah, perubahan tingkat kesadaran, nadi yang cepat, peka rangsangan, nyeri kepala dan sempoyongan
R/ : Gejala hipoglikemia dengan timbulnya tanda tersebut mungkin perlu pemberian glukosa dan mengindikasikan pemberian tambahan glukokortikoid
c. Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan setiap hari
R/ : Anoreksia, kelemahan dan kehilangan pengaturan metabolisme oleh kortisol terhadap makanan dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan terjadinya malnutrisi yang serius
d. Catat muntah mengenai jumlah kejadian atau karakteristik lainnya
R/ : Ini dapat membantu untuk menentukan derajat kemampuan pencernaan atau apsorbsi makanan
e. Berikan atau bantu perawatan mulut
R/ : Mulut yang baik dapat meningkatkan nafsu makan
f. Berikan lingkungan yang nyaman untuk makan contoh bebas dari bau tidak sedap, tidak terlalu ramai, udara yang tidak nyaman
R/ : Dapat meningkatkan nafsu makan dan memperoleh pemasukan makanan
g. Berikan informasi tentang menu pilihan
R/ : Perencanaan menu yang disukai pasien dapat menimbulkan nafsu makan dan meningkatkan pemasukan makanan.
h. Kolaborasi
- Pertahankan status puasa sesuai indikasi
R/ : Mengistirahatkan gastrointestinal, mengurangi rasa tidak enak dan kehilangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan muntah.
- Lakukan pemeriksaan terhadap kadar gula darah sesuai indikasi
R/ : Mengkaji gula darah dan kebutuhan terapi jika menurun sebaiknya diet maupun pemberian glukokortikoid dikaji kembali
- Berikan glukosa intravena
R/ : Memperbaiki hipoglikemia, memberi sumber energi untuk fungsi seluler
- Konsultasi dengan ahli gizi
R/ : Bermanfaat menentukan penggunaan / kebutuhan kalori dengan tepat
- Berikan makanan dalam porsi kecil tetapi sering dengan tinggi kalori dan protein bila makan lewat oral sudah dapat dilakukan
R/ : Makanan dalam porsi kecil  diberikan akhirnya jumlah kalori yang dibutuhkan per hari bisa terpenuhi dan juga dapat mengurangi mual dan muntah

3. Resiko tinggi penurunan curah jantung b/d menurunnya aliran darah vena atau volume sirkulasi: berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung
Intervensi:
a. Pantau tanda vital: frekuensi jantung, irama jantung dan catat adanya disritmia
R/ : Peningkatan frekuensi jantung merupakan manifestasi awal sebagai kompensasi hipovolemia dan penurunan curah jantung
b. Pantau suhu tubuh, catat bila ada perubahan yang mencolok dan tiba-tiba
R/ : Hiperpireksia yang tiba2 dapat terjadi yang diikuti oleh hipotermia sebagai akibat dari ketidakseimbangan hormonal cairan dan elektrolit yang mempengaruhi frekuensi jantung dan curah jantung
c. Kaji warna kulit, suhu, pengisian kapiler dan nadi perifer
R/ : Pucat, kulit yang dingin pengisian kapiler yang memanjang, nadi yang lambat dan lemah merupakan indikasi terjadinya shock

4. Resiko tinggi harga diri rendah b/d perubahan pada pigmen kulit, perubahan berat badan, perubahan tanda sekunder, perubahan fungsi dan peran
Intervensi:
a. Atur periode singkat untuk bicara tanpa diganggu dan dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang keadaannya
R/ : Membina hubungan dan meningkatkan keterbukaan dengan pasien membantu dalam mengevaluasi berapa banyak masalah yang dapat diubah oleh pasien
b. Kurangi stimulasi yang berlebihan pada lingkungan sarankan pasien untuk menggunakan keterampilan manajemen stress.
R/ : Meminimalkan perasaan stress, frustasi meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri.
c. Dorong pasien untuk membuat daftar bantuan orang terdekat dalam menghadapi stress
R/ : Pasien tidak akan merasa sendirian jika dia bebricara pada orang lain dan meminta bantuan dalam memecahkan masalah
d. Dorong pasien untuk membuat pilihan dan berpartisipasi dalam perawatan diri sendiri
R/ : Dapat membantu meningkatkan tingkat kepercayaan diri memperbaiki harga diri, menurunkan pikiran terus-menerus terhadap perubahan dan meningkatkan perasaan terhadap pengendalian diri.
e. Kolaborasi
Rujuk ke pelayanan social, konseling dan kelompok pendukug sesuai kebutuhan
R/ : Pendekatan secara komprehensif dapat membantu memenuhi kebutuhan pasien untuk memelihara tingkah laku koping

Asuhan Keperawatan TB paru

   Tidak ada komentar     
categories: 
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Penyakit TB Paru merupakan masalah di Indonesia, hal ini dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut menepati urutan ke 2 sebagai penyebab kematian di Indonesia.
(Hasil Survey Depkes 1992)

2. Ruang Lingkup
Makalah ini membatasi lingkup masalah pada satu kasus saja.”Asuhan Keperawatan Keluarga Tn. E Dengan TBC Paru” dengan pelaksanaan dinas 10 hari.

3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan tentang keluarga dengan gangguan sistem pernapasan TB Paru.

b. Tujuan Khusus
Menggambarkan pengkajian data keluarga pada pasien Tn. E dengan menggambarkan faktor penunjang dan penghambat.

4. Metode Penulisan
Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan observasi, wawancara, study kepustakaan dan studi dokumentasi.

5. Sistem Penulisan
Karya tulis ini disusun secara sistemik yang terdiri dari 5 Bab.


BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Defenisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh micobacterium tuberculosis, umumnya menyerag paru-paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.
(Randy Marion Caine, 1986, hal 654)
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang bersifat menular dan secara kronis dapat menyebabkan kematian penderita.
(Soeparman Penyakit Dalam II hal 111, 1990)

B. Anatomi Fisiologi Paru
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai oksidasi keluar dari tubuh.
Paru-paru adalah organ pernapasan paru-paru terdiri dari 2 bagian yaitu paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus dan paru-paru kanan terdiri dari 3 lobus, paru-paru kiri terdiri dari tiga lobus yaitu lobus superrior, media dan lobus inferior, setiap lobus terdiri dari belahan yang kecil yaitu sekmen, pada paru-paru kiri mempunyai 10 sekmen, 5 sekmen pada lobus superrior dan lima sekmen lobus inferior.
Pernapasan di paru-paru adalah pertukaran gas oksigen yang dihirup dengan karbondioksida yang dihasilkan oleh metabolisme dalam tubuh. Pertukaran gas ini terjadi dari bronchus respiratory dan alveolis dengan darah kapiler paru-paru oleh pertukaran oksigen dari udara masuk ke dalam darah, dan karbondioksuda dalam darah keluar alveolis.
Paru-paru menerima darah dari arteri pulmonalis diisi dari varrikel kanan, darah ini berasal dari seluruh tubuh yang kaya akan CO2, sedangkan konsentrasi O2 rendah, disamping itu paru-paru memperoleh darah dari arteri, inomi pada cabang aorta yang berfungsi membawa makanan ke jaringan paru-paru.
(William F. Gonang 1999 hal 552)

C. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 sampai 4 / um, dan tebal 0,3 – 0,6 / um, kuman ini dapat hidup atau bertahan hidup pada lembab maupun dalam keadaan dingin.

D. Phatofisiologi
Tiba di pintu masuk organisme microbacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran cerna dan luka-luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis disebabkan karena inhalasi basil tubercel. Tempat implementasi tubercel adalah yang paling sering pada permukaan alviolar dari parenkim paru, paru bagian bawah, lobus atas atau lobus bawah bagian yang timbul adalah oleh basil tubercel merupakan proses peradangan.
(Silvia, Anderson Price 1986, hal 580)
Pada M. Tuberculosis primer penularan terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersihkan keluar menjadi droplet nuclear, bila kuman menetap di jaringan di paru-paru dia akan berkembang biak dalam sitoplasma dalam makrofag kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil disebut sarang primer, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus pulmonalis serangan primer bersama dengan kompangitis lokal dan kompangitis regional yang dikeal sebagai komplek primer.
Komplek primer dapat menjadi:
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
2. Sembuh sedikit tanpa meninggalkan cacat tapi sedikit bekas garis fibriotik, klasifikasi hilus da komplek
3. Berkomplikasi dan menyebar.
(Soeparman Penyakit Dalam Edisi II Jakarta 1990 hal 716)

E. Tanda Dan Gejala
Keluhan yang sering terjadi:
1. Demam
Biasanya demam subfibris tetapi bisa mencapai 40 – 410C
2. Batuk
Pertamanya batuk sering kemudian batuk produktif, tidak sembuh selama ± 4 minggu dapat berupa batuk darah, pecahnya pembuluh darah
3. Sesak napas
Pertamanya tidak ditemukan sesak setelah peradangan lebih lanjut, dapat sesak akibat infiltrasi sesudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada
Ini muncul bila infiltrasi radang sampai ke pleura.
5. Malaise sakit kepala, meriang
6. BTA (+)
7. Anorexia
8. Keringat malam
9. BB menurun

F. Komplikasi Yang Timbul
TBC pneumona
Pleuritis
Empisema
Fleura effosion
TBC Broncho trakea
G. Data Penunjang
Pemeriksaan darah (LED: Laju Endap Darah)
Pemeriksaan sputuk: BTA
Test Tuberculin: mantaux test
Pemeriksaan radiologi: photo thorax

H. Penatalaksanaan
Pengobatan yang digunakan dalam megatasi penyakit / kuman tuberculosis ini adalah jangka panjang dan jangka pendek.
Pengobatan dalam jangka pendek adalah waktunya 2 bulan.
1. Fase intensif (makan obat setiap hari dalam 1 bulan)
2. Fase intermiten (makan obat 3 kali seminggu selama 4 bulan)

Panduan obat yang digunakan Intensif Intermiten
- INH 400 mg 700 mg
- Vit B6 10 mg 10 mg
- Rifamfisin 400 mg 600 mg
- Etambutol 1000 mg -
- Pyrazinamid 300 mg 300 mg


Tinjauan Keperawatan
1. Pengkajian
Data Subjektif
Penting untuk menentukan apakah pasien telah terpapar oleh penderita tuberculosis aktif atau tidak seringkali penyebab infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak dapat ditentukan, pada waktu yang sama. Kontak erat dengan pasien harus diidentifikasi pula sehingga mereka dapat mengalami pemeriksaan untuk menentukan apakah mereka penderita penyakit aktif atau memiliki test tuberculin positif.

Data Objektif
Adanya batuk
Peningkatan suhu tubuh
Keringat malam
Anorexia
Penurunan BB
Sputum bercampur darah
Nyeri dada

2. Dagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d adanya sekresi di tracheos bronchial
b. Gangguan pertukaran gas b/d kerusakan membran alveolar kapiler
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anorexia, dispnea, efek samping obat, produksi sputum
d. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuatnya immunitas
e. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan pencegahan b/d kurang lengkapnya informasi yang ada


3. Intervensi
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d adaya sekresi di tracheos bronchial
Auskultasi bunyi nafas  catat adanya bunyi nafas misal mengi, krekels, ronki
Kaji / pantau frekuensi pernafasan
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misal peninggian kepala tempat tidur atau duduk pada sandaran tempat tidur
Dorong / bantu latihan nafas abdomen atau bibir

b. Gangguan pertukaran gas b/d kerusakan membran alveolar kapiler
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan
Kaji / awai secara rutin kulit dan warna membran mukosa
Dorong untuk mengeluarkan sputum, penghisapan bila diindikasikan
Bantu intubasi berikan / pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke upi sesuai instruksi untuk pasien
Berikan O2 tambahan

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, dispnea efek samping obat produksi sputum
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini
Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin
Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai
Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan
Beri makan porsi sedikit tapi sering


d. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuatnya immunitas
Awasi suhu
Observasi warna, karakter bau sputum
Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi
Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat

e. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan pencegahan b/d kurang lengkapnya informasi yang ada
Jelaskan proses penyakit pasien
Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan
Kaji efek bahaya merokok dan beri nasehat untuk menghentikan rokok pada pasien atau orang terdekat
Beri informasi tentang pembatasan aktifitas dan aktifitas pilihan dengan periode istirahat untuk mencegah keletihan

4. Evaluasi
Mempertahankan jalan nafas
Bebas dari gejala stress pernafasan
Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan BB yang tepat
Menunjukkan tehnik perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman
Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan




BAB III
TINJAUAN KASUS

I. Biodata
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. E
2. Umur : 62 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Agama : Kristen
5. Pendidikan : SMP
6. Pekerjaan : Petani
7. Alamat : K. Tani
8. Tgl masuk : 08 Desember 2007
9. No register : 000796
10. : Puskesmas Medan Tuntungan

B. Identitas penanggung jawab
1. Nama : Ny. W
2. Pekerjaan : IRT
3. Alamat : K. Tani

II. Alasan Pasien Datang Ke Puskesmas
Os mengatakan nyeri pada dada, adanya batuk, batuk dialami os ± 1 minggu yang lalu memberat dalam 2 hari ini batuk diserai dengan dahak berwarna kuning kehijauan dengan konsentrasi kental disertai dengan demam yang naik turun dan penurunan BB sebanyak 4 kg dalam 1 minggu terakhir dengan BB awal 70 kg, BB akhir 66 kg.



III. Riwayat Kesehatan
A. Riwayat Kesehatan Sekarang
Nyeri pada dada dialami os ± 1 minggu yang lalu dan memberat dalam seminggu ini. Nyeri dada terasa tertusuk dan tertekan dengan skala sedang (4 – 6) batuk dialami os sejak 1 minggu yang lalu dengan jenis batuk produktif, namun 2 hari terakhir batuk disertai sputum yang berwarna kuning kehijauan dengan konsistensi kental. Batuk dialami os setiap 10 menit sekali dengan frekuensi 2 kali, sesak nafas dialami os semakin berat bila os beraktifitas dan batuk demam naik turun dan nafsu makan menurun yang ditandai dengan penurunan BB dalam 3 bulan terakhir dengan BB awal 70 BB akhir 66.

IV. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga os tidak ada yang menderita seperti yang dialami os atau memiliki penyakit keturunan.

Keterangan:
: Laki-laki

: Perempuan

: Garis keturunan

: garis perkawinan

: satu rumah

: meninggal

: penderita

V. Kebiasaan Sehari-Hari
A. Biologis
1. Nutrisi
Os makan teratur 3 kali sehari dengan jenis mekanan biasa tidak ada makanan pantangan os. Makanan kesukaan os asi dan lauk pauk.

2. Minuman
Os minum sebanyak 1500 cc / hari dengan jenis minuman air putih. Minuman kesukaan os yaitu kopi sebelum berangkat kerja tiap pagi os minum kopi sebanyak 250 cc.




3. Tidur / istirahat
Os tidur malam 6 – 7 jam / hari dan tidak pernah tidur siang karena pekerjaannya namun selama 1 minggu ini os mengalami kesulitan tidur malam karena batuk.

4. Eliminasi (Bak / BAB)
BAB
Os BAB 1 kali dalam sehari dengan konsistensi padat melekat, berwarna kuning berbau khas/ aromatik dan tidak terdapat adanya kelainan.
BAK
Os BAK 4-5 kali dalam sehari dengan warna kuning jernih, konsistesi cair jernih dan tidak terdapat adanya kelainan.

5. Aktivitas
Os bekerja selama 8 jam / hari. Jarak tempat kerja os dengan rumah ± 6 km.

6. Personal hygiene
Os mandi 2 kali dalam sehari, gosok gigi dan cuci rambut setiap kali mandi.

7. Rekreasi
Setelah pulang kerja os berkumpul keluarga di rumah, os tidak mengenal hari libur dan waktu os digunakan untuk bekerja.

B. Psikologis
Emosi os terlihat stabil os dapat beradaptasi dengan lingkungan os memiliki mekanisme pertahanan diri yang baik seperti memiliki semangat untuk kesembuhan dirinya.
C. Sosial
Dalam pandangan sehari-hari os menggunakan bahasa Indonesia, hubungan dengan keluarga saudara serta orang lain terlihat baik, konseo diri dan perhatian terhadap lawan bicara baik.

D. Spiritual

VI. Pemeriksaan Fisik
A. Tanda-tanda Vital Sign
Keadaan umum pasien : lemah
Kesadaran : compos mentis
Suhu / temp : 38,50C
TD : 110 / 70 mmHg
Nadi / denyut jantung : 80 x/i
Pernapasan : 26 x/i
Tinggi badan : 170 cm
BB : 66 kg dari 70 kg dalam 1 minggu
Penampilan : kurang rapi
Ciri-ciri tubuh : pasien kurus dan tinggi

B. Pemeriksaan head to toe
1. Kepala
Bentuk kepala lonjong dan tidak ada kelainan struktur kulit kepala, kepala kurang bersih.

2. Rambut
Bentuk rambut lurus pendek, berwarna hitam, da kurang bersih karena os sibuk kerja.


3. Mata
Pupil isokor kiri dan kanan, conjungtiva tidak anemis sklera putih os tidak menggunakan alat bantu dalam pengihatan.

4. Hidung
Tidak dijumpai kelainan struktur tidak dijumpai pendarahan dan peradangan polip fungsi penciuman baik dapat membedakan bau-bauan.

5. Telinga
Fungsi pendengaran baik, tidak dijumpai pendarahan dan peradangan, posisi telinga os simetris kiri dan kanan serta os tidak menggunakan alat bantu pendengaran.

6. Mulut
Pada pemeriksaan mulut tidak dijumpai adanya kelainan struktur, rongga mulut kurang bersih, mukosa mulut terlihat kering pada mulut tidak dijumpai tanda-tanda peradangan.

Gigi
Gigi kurang bersih, jumlah gigi 28 buah warna gigi kurang putih, caries ada tetapi kurang terlalu tebal serta tidak dijumpai adanya pendarahan dan peradangan, os tidak menggunakan gigi palsu.

Lidah
Kebersihan lidah bersih warnanya normal lidah tampak kering, lidah berfugsi dengan baik ditandai dengan os dapat membedakan rasa obat dan rasa buah serta tidak dijumpai adanya hiperemik pada tepi lidah.
Pharingis dan tonsil
Pada tonsil tidak dijumpai adanya kelainan bentuk dan ukuran serta tidak terdapat adanya pembesaran dan peradangan pada tonsil.

7. Thorax dan fungsi pernapasan
Thorax berbentuk simetris, adanya batuk, disertai dengan sputum, RR         , reguler ronchi basah pada paru kiri dan adanya nyeri pada dada sebelah kiri dengan skala sedang 4 – 6.

8. Extremitas
Atas
Tidak ada kelainan struktur dan os dapat melakukan ROM secara penuh, bentuknya simetris kiri dan kanan tidak dijumpai adanya oedem.

Bawah
Tidak ada kelainan struktur dan os dapat melakukan ROM secara penuh bentuknya simetris kiri dan kanan, tidak dijumpai adaya oedem.

9. Kulit
Warna kulit hitam, kebersihan kulit baik, kulit tampak kering, tidak dijumpai adanya peradagan dan perlukaan.

Therapi
Ethambutol
Rifampisin
Isoniazid

ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
1 DS:
Os mengatakan sesak dan sulit bernafas

DO:
RR: 26 x/i
Batuk produktif
Sputum berwarna kuning kehijauan dengan konsistensi kental sebanyak 10 cc
Nyeri pada dada sebelag kiri dengan skala sedang (4 – 6) Adanya sekresi di bronchus bronchial Kebersihan jalan nafas tidak efektif
2 DS:
Os mengatakan demam

DO:
Temperatur os 38,50C
Mukosa mulut tampak kering
Wajah os tampak kemerahan
Turgor kulit kering Infeksi kuman tuberculosis Demam
3 DS:
Os mengatakan tidak nafsu makan

DO:
Os demam
Penurunan BB dengan BB awal 70 kg, dan BB akhir 66 kg dalam 1 minggu Produksi sputum yang berlebihan Pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan


PRIORITAS MASALAH

1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif b/d adanya sekresi di tracheos bronchial d/d os meyatakan sesak sulit bernafas, RR: 76 x/I, batuk produktif sputum berwarna kuning kehijauan dengan konsistensi kental nyeri pada dada sebelah kiri dengan kala sedang (4 – 6).
2. Demam b/d infeksi kuman tuberculosis d/d os mengatakan demam, temperatur os 38,50C mukosa mulut tampak kering, wajah os tampak kemerahan, turgor kulit kering.
3. Pemenuhan kebutuhan nutrisi b/d anorexia produksi sputum d/d os mengatakan tidak nafsu makan, os demam, penurunan BB dengan BB awal 70 kg dan BB akhir 66 kg dalam 1 minggu.

Asuhan keperawatan Diabetes Melitus (DM)

   Tidak ada komentar     
categories: 
BAB  I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diabetes melitus ( DM ) adalah keadaan hyperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulakan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. ( Arief Mansjoer dkk, 2001 ).
Untuk menanggulangi masalah keperawatan pada penderita dengan diabetes mellitus, dibutuhkan suatu pelaksanaan asuhan keperawatan yang komprehensif meliputi bio, psiko, social dan spiritual melalui pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Dengan pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien diabetes mellitus, diharapkan dapat mengatasi permasalahan – permasalahan yang terjadi pada penderita diabetes mellitus.



B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit diabetes melitus yang di mulai dari tahap pengkajian sampai dengan evaluasi.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian pada klien dengan diagnosa diabetes melitus.
b. Dapat menegakan diagnosa pada klien dengan diagnosa diabetes melitus.
c. Dapat menyusun rencana intervensi pada klien dengan diagnosa diabetes melitus.
d. Dapat melakukan evaluasi hasil pelaksanaan rencana intervensi keperawatan pada klien dengan diagnosa diabetes melitus.



B A B  II
KONSEP  TEORI

A. DEFENISI
Diabetes melitus ( DM ) adalah keadaan hyperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulakan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. ( Arief Mansjoer dkk, 2001 ).
Diabetes Melitus merupakan kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau. Glukosa secara normal bersikulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa di bentuk di hati dari makanan yang di konsumsi. Insulin yaitu suatu hormon yang di produksi pankreas  untuk  mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.
Pada diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini tetap menimbulkan hyperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom Hyperglikemik Hiperosmoler Non Ketotik ( HHNK ). Hyperglikemia jangka panjang dapat ikut  menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis ( penyakit ginjal dan mata ) dan komplikasi neuropati ( penyakit pada syaraf ). Diabetes juga disertai dengan peningkatan insidens penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.
Klasifikasi diabetes dibedakan berdasarkan pada penyebab, perjalanan klinik dan terapi.  Yaitu :
1. Tipe I : Diabetse melitus tergantung insulin ( Insulin Dependent Diabetes Melitus [IDDM] ).
2. Tipe II : Diabetes melitus tidak tergantung insulin ( Non Insulin Dependent Diabetes Melitus [NIDDM] ).
3. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.
4. Diabetes melitus gestasional ( Gestational Diabetse Melitus [GDM] ).

B. ANATOMI FISIOLGI
1. Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung
2. Pulau langerhans adalah bagian endokrin pancreas yang merupakan kumpulan sel yang terbenam dalam jaringan pancreas.
3. Kumpulan sel – sel ini tersusun atas sel alfa, sel beta dan sel delta.

     
C. ETIOLOGI
1. Diabetes tipe I
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2. Diabetes tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

D. PATOFISIOLOGI.


E. MANIFESTASI KLINIK
1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Poliphagia
4. Penurunan berat badan
5. Keletihan
6. Kelainan pada kulit; gatal – gatal, bisul
7. Kelaianan ginekologi; keputihan
8. Kesemutan
9. Kelemahan tubuh
10. Luka / bisul yang tidak sembuh
11. Infeksi saluran kemih
12. Hipotensi
13. Mata rabun.

F. KOMPLIKASI
1. Komplikasi akut diabetes mellitus
a. Hypoglikemia
b. Hyperglikemia
2. Komplikasi kronik diabetes.
a. Komplikasi makrovaskuler
1) Penyakit pembuluh darah jantung
2) Penyakit pembuluh darah perifer
3) Penyakit cerebrovaskuler
b. Komplikasi mikrovaskuler
1) Retinopati
2) Neuropati
3) Nepropati

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1.  Diet
2.  Latihan
3.  Pemantauan
4.  Terapi (jika diperlukan)
5.  Pendidikan


B A B  III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Ananmnese.
Anamnese merupakan pengkajian data awal yang meliputi tentang keluhan utama, riwayat penyakit saat ini dan riwayat penyakit dahulu.
2. Pemeriksaan fisik.
a. Aktifitas / istirahat
1) Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot
                 menurun, gangguan tidur / istirahat.
2) Tanda : Takikardia dan takipnea pada keluhan istirahat tau dengan
                 aktifitas, koma dan penurunan kekuatan otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala : Kebas dan kesemutan pada ekstermitas, ulkus pada kaki.
2) Tanda : Takikardia, perubahan tekan darah postural (hiperttensi), kulit
                 panas, kering dan kemerahan.
c. Integritas ego
1) Gejala : Stress, tergantung pada orang lain.
2) Tanda : Ansietas, peka rangsang.
d. Eliminasi
1) Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, kesulitan
                 berkemih (infeksi), ISK baru / berulang, nyeri tekan abdomen,
                 diare.
2) Tanda : Urine encer, pucat, kuning, urine berkabut, bau busuk (infeksi),
                 bising usus lemah dan menurun.
e. Makanan / cairan
1) Gejala : Hilang nafsu makan, mual / muntah, tidak mengikuti diet;
                 peningkatan masukan glukosa / karbohidrat, penurunan berat
                 badan, haus.
2) Tanda : Kulit kering / bersisik, turgor jelek, kekakuan / distensi
                 abdomen, muntah, pembesaran tiroid.

f. Neurosensori
1) Gejala : Pusing / pening, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan otot,
                 gangguan penglihatan.
2) Tanda : Disorientasi;mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut),
                 gangguan memori (baru, masa lalu).
g. Nyeri / kenyamanan
1) Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang / berat).
2) Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi;tampak sangat berhati - hati.
h. Pernapasan
1) Gejala : Merasa kurang oksigen, batuk dengan / tanpa sputum purulen.
2) Tanda : Batuk dengan / tanpa sputum purulen.
i. Keamanan
1) Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
2) Tanda : Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi / ulserasi, menurunnya kekuatan umum / rentang gerak.
j. Seksualitas
1) Gejala : Rabas vagina ( cenderung infeksi ).
3. Pemeriksaan diagnostik.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium:
a. Test Darah.
American Diabetes Association ( ADA, 1993 ) mendefenisikan nilai glukosa darah normal :
1) Nilai glukosa darah puasa : kurang dari 115 mg/dl.
2) Nilai glukosa darah 2 jam post prandial : kurang dari 140 mg/dl
3) Nilai test toleransi glukosa oral antara 0 – 2 jam pengukuran : tingkat glukosa plasma s/d 200 mg/dl
b. Test Urine.
1) Test urine tentang adanya badan keton;  urine di test pada penyakit akut atau stress, ketika tingkat glukosa melebihi 240 mg/dl
2) Test urine untuk glukosa; tingkat glukosa 250 mg/dl s/d 300 mg/dl atau lebih, glukosa dapat ditemukan di urine.
3) Test urine untuk albumin; kehadiran protein dalam urine kemungkinan perubahan mikrovaskuler di ginjal.


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, masukan dibatasi ( mual, muntah, kacau mental ) yang ditandai dengan peningkatan haluaran urine, penurunan berat badan tiba – tiba, kulit/membran mukosa kering, turgor kulit buruk.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan penurunan masukan oral, anorexia, mual, lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran yang ditandai dengan penurunan berat badan, kelemahan, kelelahan, tonus otot buruk.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
4. Resiko tinggi perubahan sensori perceptual berhubungan dengan perubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa atau insulin dan elektrolit.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi metabolik, perubahan kimia darah, insufisiensi insulin ditandai dengan kurang energi berlebihan, penurunan kinerja.
6. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang / progresif yang tidak dapat diobati,ketergantungan pada orang lain ditandai dengan apatis, menarik diri, marah, penolakan untuk mengekspresikan perasaan sebenarnya.
7. Kurang pengetahuan tentang prognosis penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi ditandai dengan pernyataan salah konsep, meminta informasi.

C. RENCANA INTERVENSI
Diagnosa keperawatan 1 ;
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, masukan dibatasi ( mual, muntah, kacau mental ) yang ditandai dengan peningkatan haluaran urine, penurunan berat badan tiba – tiba, kulit/membran mukosa kering, turgor kulit buruk.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil : Menunjukan keseimbangan cairan yang adekuat, tanda – tanda vital stabil.
Intervensi :
1. Pantau tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah.
Rasional ; Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardi.
2. Perhatikan suhu tubuh, warna kulit atau kelembabannya.
Rasional ; Demam dengan kulit yang kemerahan, kering mungkin sebagai cermin
                 dari dehidrasi.

3. Kaji nadi perifer, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional ; Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang
                 adekuat.
4. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.
Rasional ; Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti fungsi ginjal
                 dan keefektifan dari yang diberikan.
5. Ukur berat badan setiap hari.
Rasional ; Memberikan hasil pengkajian yang baik dari status cairan yang sedang
                 berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
6. Kaji adanya perubahan mental / sensorik
Rasional ; Perubahan mental dapat berhubungan dengan glukosa yang tinggi atau
                  rendah ( hiperglikemia atau hipoglikemia ), elektrolit yang berlebihan.

Diagnosa keperawatan 2;
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan penurunan masukan oral, anorexia, mual, lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran yang ditandai dengan penurunan berat badan, kelemahan, kelelahan, tonus otot buruk.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : Berat badan klien stabil.
Intervensi :
1. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
Rasional ; Mengkaji masukan makanan yang adekuat ( termasuk absorbsi dan
                 kualitasnya ).
2. Tentukan program diet dan pola makan klien dan bandingakan makanan yang dapat dihabiskan klien.
Rasional ; Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
                 terapeutik.
3. Identifikasi makanan yang disukai / dikehendaki termasuk kebutuhan etnik / kultural.
Rasional ; Makanan yang disukai klien dapat dimasukan dalam perencanaan makan. Kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.

4. Libatkan keluarga klien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
Rasional ; Memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan
 nutrisi klien.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional ; Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk
                 memenuhi kebutuhan nutrisi klien

Diagnosa keperawatan 3 ;
Resiko tinggi terhadap infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan tekhnik untuk mencegah terjadinya infeksi
Intervensi :
1. Observasi tanda – tanda infeksi dan peradangan.
Rasional ; Klien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah
                 mencetuskan keadaan ketoasidosis dan dapat mengalami infeksi
                 nasokomial.
2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
Rasional ; Mencegah timbulanya infeksi silang ( infeksi nasokomial ).
3. Pertahankan tekhnik aseptik pada prosedur invasif.
Rasional ; Kadar glukosa yang tinggi dalam darah menjadi media terbaik bagi
                 pertumbuhan kuman.
4. Bantu klien untuk melakukan hygiene oral.
Rasional ; Mencegah resiko tejadi penyakit mulut / gusi.
5. Anjurkan untuk makan dan minum yang adekuat.
Rasional ; Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi.
6. Berikan obat anti biotik yang sesuai.
Rasional ; Penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.

Diagnosa keperawatan 4 ;
Resiko tinggi perubahan sensori perceptual berhubungan dengan perubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa atau insulin dan atau elektrolit.
Tujuan : Perubahan sensori perceptual tidak terjadi.
Kriteria hasil : Mempertahankan tingkat mental biasanya.
Intervensi :
1. Pantau tanda – tanda vital dan status mental
Rasional ; Sebagai dasar untuk temuan abnormal.
2. Jadwalkan intervensi keperawatan agar tidak mengganggu waktu istirahat klien.
Rasional : Meningkatkan tidur, menurunkan rasa letih dan dapat memperbaiki
                 daya pikir.
3. Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada bahu/kaki.
Rasional ; Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat.
4. Pelihara aktivitas rutin klien sekonsisten mungkin.
Rasional ; Membantu klien tetap berhubungan dengan realitas dan
                 mempertahankan orientasi dengan lingkungan.
5. Berikan tempat tidur yang lembut.
Rasional ; Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan
                 kulit karena panas.
6. Bantu klien dalam ambulasi atau perubahan posisi.
Rasional ; Meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa keseimbangan
                 dipengaruhi.

Diagnosa keperawatan 5 ;
Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi metabolik, perubahan kimia darah, insufisiensi insulin ditandai dengan kurang energi berlebihan, penurunan kinerja.
Tujuan : Kelelahan teratasi
Kriteria hasil : Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktifitas.
Rasional ; Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan aktivitas
                 meskipun klien mungkin sangat lemah.
2. Berikan aktifitas alternatif dengan periode aktifitas yang cukup / tanpa gangguan.
Rasional ; Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3. Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
Rasional ; Mengindikasikan tingkat aktifitas yang dapat di toleransi secara
                 fisiologis.
4. Diskusikan cara hemat kalori selama mandi, berpindah tempat tidur dan sebagainya.
Rasional ; Klien akan dapat melakukan kegiatan dalam penurunan kebutuhan
                 akan energi pada setiap kegiatan.
5. Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktifitas sehari – hari sesuai dengan yang dapat di toleransi.
Rasional ; Meningkatkan kepercayaan diri / harga diri yang positif sesuai tingkat
                 aktifitas yang dapat di toleransi klien.

Diagnosa keperawatan 6 ;
Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang / progresif yang tidak dapat diobati,ketergantungan pada orang lain ditandai dengan apatis, menarik diri, marah, penolakan untuk mengekspresikan perasaan sebenarnya.
Tujuan : Ketidakberdayaan teratasi.
Kriteria hasil : Klien akan mengidentifikasi cara – cara sehat untuk menghadapi
                               perasaan.
Intervensi :
1. Anjurkan klien atau keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
Rasional ; Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan
                 masalah.
2. Akui normalitas dari perasaan.
Rasional ; Pengenalan bahwa reaksi normal dapat membantu untuk memecahkan
                 masalah dan mencari bantuan sesuai kebutuhan.
3. Kaji bagaimana klien telah menangani masalahnya di masa lalu.
Rasional ; Pengetahuan gaya individu membantu untuk menentukan kebutuhan
                 terhadap tujuan penanganan.
4. Tentukan apakah ada perubahan yang berhubungan dengan orang terdekat.
Rasional ; Tenaga dan pemikiran yang konstan diperlukan untuk mengendalikan
                 diabetik yang sering kali memindahkan fokus hubungan.
5. Berikan dukungan pada klien untuk ikut serta dalam perawatan diri.
Rasional ; Meningkatkan perasaa kontrol terhadap situasi.
Diagnosa keperawatan 7 ;
Kurang pengetahuan tentang prognosis penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi ditandai dengan pernyataan salah konsep, meminta informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien bertambah tentang prognosis dan pengobatan
                               penyakitnya.
Kriteria hasil : Melakukan perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi
                               dalam pengobatan.
Intervensi :
1. Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian dan selalu ada untuk klien.
Rasional ; Menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum klien
                 bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.
2. Bekerjasama dengan klien dalam memantau tujuan belajar yang diharapkan.
Rasional ; Partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusias dan kerjasama
                 pasien dengan prinsip – prinsip yang dipelajari.
3. Pilih lembaga strategi belajar, seperti tekhnik demonstrasi.
Rasional ; Penggunaan cara yang berbeda tentang informasi meningkatkan
                 pekerjaan individu yang belajar.
4. Diskusikan topik – topik utama seperti ; tipe diabetes melitus yang dialami.
Rasional ; Memberikan pengetahuan dasar di mana klien dapat membuat
                 pertimbangan dalam memilih gaya hidup.
5. Diskusikan tentang rencana diet.
Rasional ; Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu klien
                 dalam merencanakan makanan / mentaati peraturan.
6. Tinjau ulang program pengobatan.
Rasional ; Pemahaman tentang semua aspek yang digunakan selama pengobatan.

D. EVALUASI
1. Menunjukan keseimbangan cairan yang adekuat, tanda – tanda vital dalam rentang normal, turgor kulit baik.
2. Menunjukan berat badan stabil dengan nilai laboratorium normal.
3. Mendemonstrasikan tekhnik, perubahan gaya untuk mencegah terjadinya infeksi.
4. Mengenali dan mengkopensasikan adanya kerusakan sensori.
5. Menunjukan adanya perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dan aktifitas yang diinginkan.
6. Berpartisipasi dalam merencanakan perawatan sendiri secara mandiri.
7. – Pengungkapan informasi yang akurat tentang diagnosa.
-  Aturan pengobatan pada tingkat kesiapan diri sendiri.



B A B  IV
P E N U T U P

A. KESIMPULAN
1. Penyakit diabetes mellitus adalah gangguan metabolic yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat di control, yang dikategorikan dengan hyperglikemia karena defisiensi insulin atau ketidak adekuatan penggunaan insulin.
2. Penyakit diabetes mellitus ini adalah penyakit yang menyebabkan komplikasi yang banyak dan sangat berbahaya.
3. Untuk menghindari komplikasi dari diabetes mellitus adalah pengobatan dini dan perawatan yang tepat dan yang baik.
4. Untuk menanggulangi masalah keperawatan pada penderita dengan diabetes mellitus, dibutuhkan suatu pelaksanaan asuhan keperawatan / proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
5. Kerjasama yang baik antara perawat dengan klien, keluarga serta tim kesehatan lainnya akan mempermudah dalam melaksanakan proses perawatan.


B. SARAN
1. Dalam melaksnakan asuhan keperawatan / proses keperawatan hendaknya di buat secara sistimatis serta didokumentasikan dengan benar agar pelaksanaan tindakan tepat sesuai dengan yang diprogramkan.
2. Bina hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien, keluarga serta tim kesehatan lain untuk menunjang keberhasilan proses keperawatan.
3. Hendaknya para perawata lebih meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang proses keperawatan karena perkembangan ilmu pengetahuan terus berjalan.